Waktu Prodia berdiri, saya tinggal di Solo. Saya alumnus Institut
Teknologi Bandung jurusan Farmasi, lulus 1963. Saya ditempatkan di Tawangmangu
(Jateng), bekerja di kebun obat. Waktu di Solo, saya diminta mengajar Kimia
Klinik di Universitas Atmajaya. Semua sarjana Farmasi disuruh mengajar,
termasuk saya. Mengajar Kimia Klinik ini mengubah hidup saya yang sebetulnya
bukan bidang saya.
Selain itu, disuatu rumah sakit saya pernah ngomong dengan salah
seorang dokter, hati-hati kalau membutuhkan darah, karena pemeriksaan darah
keliru. Dokter bilang, mengapa kamu tidak bikin laboratorium. Saya bilang, saya
tidak punya uang dan tidak mengerti laboratorium klinik. Namun, dokternya
menganggap saya ahli karena mengajar Kimia Klinik. Akhirnya, saya dan
teman-teman berpikir dan membuka laboratorium klinik. Tahun 1973, kami berempat
masing-masing menyetor uang Rp 45.000 untuk mengontrak ruangan di Pasar Nongko,
Solo. Ruangannnya kecil.
Setelah dikelola dua tahun, pada 1975, kami membuka cabang di Jakarta,
di garasi Apotek Titi Murni di Salemba. Saat berdiri laboratorium di Solo itu,
omzet bulan pertama Rp 37.500 dari enam pasien. Padahal, untuk gajih dua orang
dibutuhkan biaya Rp 50.000. Jadi, tidak cukup. Setelah setahun mulai bagus.
Tahun 1975, merambah ke Jakarta.
Setelah 43 tahun, ada 256 cabang di seluruh Indonesia, di seluruh
provinsi, kecuali Bengkulu, Kalimantan Utara dan Papua Barat. Jumlah pasien
pada 2015 mencapai 2,3 juta setahun. Omzetnya Rp 1,2 triliun. Karyawan 3.500
orang. Prodia termasuk terbesar keenam di dunia. Saingannya, Amerika Serikat,
Brasil, Mesir, India dan Tiongkok.
Di Indonesia peluang masih besar, yaitu 250 juta orang. Masyarakat
kelas menengah juga terus meningkat, mencapai 90 juta orang. Pesaing dari luar
negeri justru mau masuk ke pasar Indonesia. Namun, tantangan untuk bisa masuk
cukup besar. Dua laboratorium dari Australia mau masuk, tetapi akhirnya tutup. Malaysia
juga mencoba masuk dan membuka laboratorium di Medan, tetapi tidak laku.
Untuk keperluan laboratorium dibutuhkan pereaksi atau reagent. Banyak
pereaksi yang harus diimpor. Kami baru bisa melayani 5 persen dari total
kebutuhan. Kami juga mengimpor alat. Saya mempunyai cita-cita anak perusahaan
Prodia Group yang sekarang mengimpor alat, suatu saat dapat merakit pembuatan
alat.